Jl. Wonosari Km.7, Tanjungpinang 081364714170 (Call / Whatsapp)

Sejarah Jemaat

A. Berdirinya Gereja Protestan Pertama di Kepulauan Riau

Gereja Protestan Indonesia Bagian Barat (GPIB) Bethel Kota Tanjungpinang merupakan gereja Protestan tertua di Kepulauan Riau yang dibangun pada awal abad ke-19. Gereja ini berada di jalan Gereja No. 1, Kecamatan Tanjungpinang Kota, tidak jauh dari Gedung Daerah yang pernah menjadi kantor Residen Tanjungpinang di masa kolonialisasi Belanda. Secara geografis, bangunan gereja berada pada ketinggian 38 mdpl dan berada pada koordinat N 0°55'42.81"E 104°26'37.31". Sebagai salah satu bangunan bersejarah, Gereja Bethel Tanjungpinang sudah tercatat sebagai salah satu tinggalan cagar budaya dengan nomor inventaris 15/BCB-TB/C/01/2007 (BPCB Sumbar, 2018).


Aliran Protestan yang pertama kali dibawa ke Indonesia adalah Protestan Calvinis, sebuah aliran gereja reformasi yang dibawa oleh Johannes Calvin pada abad ke- 16. Pada masa tersebut, aliran ini mulai berkembang di sejumlah daerah seperti Ambon, Banda, Ternate, Sangir, Bacan, Jakarta, Banten dan lain-lain (Pinem, 2016: 350). Lebih lanjut, kedatangan Belanda dalam rangka pekabaran Injil mulai dilakukan pada tahun 1609. Para pendeta pada masa ini berada di bawah pengawasan Gubernur Jendral, sebab mereka juga menjadi bagian dari pegawai Vereenigde Oost Indische Compagnie atau VOC (Berkhof, 2004: 237-238).

Gereja Bethel Tanjungpinang dibangun pada 14 Februari 1835 dan selesai tepat satu tahun setelahnya. Pembangunan ini dicatat oleh Pendeta Eberhardt Hermann Röttger yang bertugas di Riau pada akhir 1830-an (daerah Bintan yang di dalamnya termasuk Tanjungpinang pada sejumlah sumber sejarah asing maupun lokal disebut dengan nama Riau). Catatan Pendeta Röttger dalam Berigten Omtrent Indië, Gedurende een Tienjarig Verblijf Aldaar yang diterbitkan tahun 1846 itu juga menyebutkan sumber pembiayaan dan material bangunan. Gereja dibangun dengan biaya yang berasal dari sumbangan seluruh daerah di Hindia (Indonesia). Tidak hanya itu, Raja Muda di Penyengat masa itu juga juga ikut menyumbang uang dan kayu (Putten, 2001: 42). Merujuk pada angka 1835, maka Raja Muda yang dimaksud adalah Raja Abdurrahman, tokoh yang sama di balik pembangunan Masjid Raya Sultan Riau.

Pada 30 Juli 1856, pemerintah Belanda menghibahkan tanah tempat dibangunnya gereja tersebut kepada jemaat Protestan yang ada di Tanjungpinang. Akta hibah itu ditandatangai oleh Residen Riau Frederik Nicolaas Nieuwenhuyzen. Di dalamnya juga disebutkan gambaran lokasi tempat gereja berdiri, seperti keberadaan sejumlah pohon berharga yang dapat dipergunakan sebagai bahan bangunan. Selain itu, bangunan yang disebutkan berada di Blok F juga ditumbuhi oleh pohon kelapa (Arsip Akta Penghibahan, 1856).

Pasca kemerdekaan, lahan tempat berdirinya Gereja Bethel didaftarkan ke pemerintahan Indonesia melalui Kantor Pendaftaran Tanah Tanjungpinang. Pendaftaran yang kemudian disahkan pada 31 Oktober 1959 itu terdaftar atas nama jemaat Protestan. Pengukuran terhadap lahan seluas 1.611 m² tersebut dilakukan berdasarkan permintaan dari Badan Pekerja Gereja Protestan di Jakarta (Arsip Salinan Pendaftaran Tanah Gereja, 1968). Pendaftaran ulang ini berkaitan persoalan surat menyurat yang sah pascakemerdekaan Indonesia. Pasalnya, dengan terdaftarnya lahan gereja pada pemerintahan Indonesia maka segala surat-surat terkait lahan gereja yang ada sejak zaman Belanda tidak dapat digunakan lagi.

Renovasi yang merubah bentuk asli gereja diperkirakan terjadi setelah tahun 1930. Sebelum tahun tersebut, gereja Bethel masih berupa bangunan sederhana yang terbuat dari bahan beton berwarna putih. Jika dibandingkan dengan bentuk fisik yang masih bertahan hingga sekarang, terjadi sejumlah perubahan. Pada masa tersebut gereja belum memiliki menara berikut ornamen ayam jantan di puncaknya. Selain itu, sebelum tahun 1930 gereja juga belum memiliki atap gabel step. Berdasarkan foto yang tersimpan di KITLV Digital Collection bertanggalkan 1918 dan foto yang disimpan oleh Arsip Nasional Indonesia yang dikeluarkan tahun 1930, perubahan tidak terjadi pada jendela serta serambi depan bangunan.

Pada tahun 1970 dilakukan renovasi dengan menambah balkon pada bagian dalam gereja. Balkon tersebut berada di arah pintu masuk yang menghadap ke altar dan dibuat dengan material kayu. Renovasi lain yang dilakukan pada tahun ini adalah penggantian atap sirap menjadi seng (Lilipory, 2021). Secara fisik, bangunan gereja pada masa sekarang memiliki atap yang tinggi dan curam, berbeda dengan foto pada tahun 1930 dimana gereja memiliki atap yang rendah atau lebih landai. Besar kemungkinan, dalam rentang tahun 1930 hingga 1970 juga dilakukan renovasi untuk menambah gabel serta menara.

Selanjutnya, pada tahun 1994 dilakukan sejumlah perubahan hampir pada sebagian besar bangunan. Menara yang awalnya berbahan kayu diganti menjadi beton sekaligus menaikkan lonceng yang sejak awal berada pada bangunan seperti pendopo yang terletak di samping gereja.

Lantai gereja yang awalnya berupa marmer bermotif diganti menjadi marmer polos. Dinding gereja bagian dalam yang awalnya polos kemudian dilapisi keramik di seluruh permukaannya. Selain itu, balkon yang pada awalnya berbahan kayu diganti menjadi beton (Lilipory, 2021).

Penuturan Cristoffel Lilipory (58 tahun) selaku sekretaris Majelis Jemaat GPIB Bethel menyebutkan, pada awal tahun 2000-an atap berbahan seng diganti ke bahan spandek. Seiring pertambahan jumlah jemaat serta pembangunan yang dilakukan di sekitar gereja, membuat pihak pengurus memutuskan untuk membangun gereja. baru. Pada 2018, aktivitas perkantoran berikut pelayanan administrasi bagi jemaat dipindahkan ke bangunan gereja baru yang berada di Jalan Wonosari Km. 7 Tanjungpinang. Sementara gereja lama yang berada di Jalan Gereja No. 1 hanya digunakan untuk peribadatan.

Keberadaan GPIB Bethel yang dibangun pada awal abad ke-19 ini tentu berkaitan dengan aliran Protestan Calivinis yang juga dikenal dengan aliran reformis. Hal tersebut merujuk pada keterangan foto yang menjadi koleksi Koninklijk Instituut voor Taal, Land en Volkenkunde (KITLV) Leiden, dimuat keterangan Nederlandse Hervormde Kerk te Tandjoengpinang; Riouw-Archipel. Lebih kurang keterangan tersebut memiliki arti Gereja Reformasi Belanda di Tanjungpinang, Kepulauan Riau. Jika pada abad ke-16 aliran tersebut baru berkembang pada sejumlah daerah di kawasan timur meliputi Sulawesi bagian utara dan Maluku, serta Jakarta dan Banten, maka pada abad ke- 19 aliran itu sudah semakin berkembang, termasuk ke daerah Tanjungpinang.

Semenjak Pendeta Eberhardt Hermann Röttger yang bertugas di Tanjungpinang pada periode awal pembangunan gereja (1830-an), belum ditemukan catatan lain yang berisi tentang nama-nama pendeta yang bertugas di Gereja Bethel. Pendataan yang dilakukan oleh majelis jemaat gereja juga hanya mampu melacak hingga setelah 1950-an. Selain itu, sebagian pendeta yang terdata juga tidak semuanya diketahui tahun mereka bertugas. Sejumlah pendeta yang tercatat pernah mengabdi di gereja ini adalah;

  1. Pdt. Pattinama
  2. Pdt. Obet Sahulata
  3. Pdt. Gurning (Pendeta TNI AL yang diperbantukan)
  4. Pdt. Pattipeluhu
  5. Pdt. Sudopo
  6. Pdt. Aryono
  7. Pdt. Pandeiroth (1991)
  8. Pdt. Simon Nisi
  9. Pdt. Urbanus Latudasan
  10. Pdt. Abraham Ruben Persang (2000-2005)
  11. Pdt. Daniel. Ch. Lumentut (2005-2010)
  12. Pdt. Pattiapon (Pendeta TNI AL yang diperbantukan)
  13. Pdt. Luther. B. Tappi (2010-2015)
  14. Pdt. Johannes Baptista Geroda Cinun (2015-2017)
  15. Pdt. Albert Goseling (2017-2019)
  16. Pdt Ronald Octavian Rampala (2019- sekarang 2022)

B. Arsitektur Bangunan Gereja Bethel

Arsitektur Gereja Bethel Tanjungpinang terkesan sederhana, tidak megah seperti hal mayoritas gereja Katolik. Secara umum, bangunan gereja ini sangat identik dengan bangunan kolonial yang dibangun semasa dengannya. Jika dirujuk pada sejumlah catatan maupun foto lama, sejak awal bangunan gereja ini memang sudah sederhana. Dalam perkembangannya, renovasi baru dilakukan dengan melakukan penambahan pada sejumlah bagian.

Secara umum, Gereja Protestan memiliki karakteristik tersendiri. Bangunannya yang terkesan sederhana merupakan bentuk kritik terhadap arsitektur Katolik yang terkesan megah, penuh ornamen, lambang kekuasaan dan lain sebagainya (Pinem, 2016: 360). Berbanding terbalik dengan arsitektur Gereja Katolik, indikasi kekuasaan maupun kemewahan tidak terlihat dari simbol-simbol yang diwujudkan dalam wujud arsitekturnya.

Sejumlah ciri yang menjadi identifikasi bangunan Gereja Protestan 2006:13): secara umum adalah (Chrisdiana, 2006:13):

1. Salib tanpa patung Yesus.

Simbol salib tanpa patung Yesus pada dasarnya merupakan perlambangan kebangkitan Yesus di antara orang-orang mati dan kemudian naik ke surga. Pada bangunan Gereja Bethel Tanjungpinang simbol salib berada di belakang mimbar imam. Hanya saja salib tersebut tidak terpasang permanen. Pada bangunan sekarang, salib tersebut tidak dipasang, begitu juga pada kisaran tahun 1940-an. Akan tetapi pada tahun 1990-an, pada sebuah foto terlihat salib dipasang pada dinding belakang mimbar.

2. Tidak ada patung orang suci

Di dalam ruang utama Gereja Bethel sama sekali tidak ditemukan patung maupun gambar orang-orang suci. Begitu juga dengan ruangan yang diperuntukkan bagi orang-orang suci. Dinding bagian dalam Gereja Bethel polos, baik sebelum maupun sesudah dilapisi keramik.

3. Tidak ada ruang pengakuan dosa

Pada Gereja Bethel Tanjungpinang, sebenarnya terdapat ruangan tambahan yang berada di bagian belakang mimbar. Hanya saja, keterangan terkait fungsi ruangan itu adalah sebagai tempat persiapan bagi pendeta sebelum melakukan ibadah. Selain itu, pada ruangan ini juga tersimpan sejumlah barang.

4. Keberadaan alat musik

Alat musik sebenarnya adalah hal yang lazim ditemui pada gereja. Peralatan musik atau orgel dapat dipastikan akan menjadi bagian penting dari sebuah bangunan gereja. Hal tersebut berkaitan dengan pujian-pujian sebagai sesuatu yang begitu penting, sehingga perlatan musik menjadi bagian dari peribadatan.


Sebagai sebuah bangunan yang merupakan perwujudan ide manusia, maka bangunan gereja sebenarnya menjadi bagian dari kebudayaan sekelompok masyarakat. Adanya perbedaan maupun kesamaan dalam sebuah bangunan merupakan bentuk implementasi dari ide. Ide yang mengendap dalam rupa bangunan akan mempertimbangkan estetika dan fungsi, sekalipun di dalamnya tidak terlepas dari etika yang berkaitan dengan dogma agama.

Secara umum, interior ruangan pada Gereja Bethel dapat dibagi menjadi tiga bagian. Ruang pertama terdapat di bagian depan yang berukuran lebih kecil. Kemudian diikuti bagian tengah sebagai ruangan utama dan memiliki ukuran yang paling besar. Lalu diikuti oleh ruangan terakhir yang ada di bagian belakang. Ketiga bagian ini memiliki fungsi dan dimensi ruang yang berbeda.

Ruang pertama memiliki ukuran panjang 2,3 meter dan lebar 2 meter. Ruangan ini menghubungkan bagian luar bangunan dengan ruang utama. Untuk masuk ke ruangan ini terdapat sebuah pintu dari kayu berdaun dua, dengan bagian atas pintu berbentuk separo lingkaran. Pintu pada ruangan ini memiliki ukuran tinggi 2,4 meter dan lebar 1,4 meter. Posisi ruangan yang memanjang menuju ruang utama membuat bagian ini lebih terlihat seperti lorong pendek.

Pada bagian tengah bangunan terdapat ruang utama atau ruang jemaat, tempat dilangsungkannya peribadatan. Ruangan ini memiliki ukuran panjang 15 meter dan lebar 8,7 meter. Di ujung ruangan terdapat panggung, di bagian dinding terdapat sebuah cerukan tempat beradanya sebuah mimbar yang terbuat dari bahan kayu. Pada ruangan ini juga terdapat balkon di arah pintu masuk. Untuk naik ke balkon terdapat tangga yang berada di sisi kiri dan kanan bangunan. Balkon tersebut memiliki panjang hampir separo panjang ruangan utama, bagian ini menjadi tempat duduk bagi jemaat dan terdiri dari dua level atau tingkat.

Ruangan ini pada awalnya memiliki 12 buah jendela yang memiliki jarak cukup jauh dari lantaiPada bagian belakang ruang utama, terdapat empat jendela yang masing-masinya berada di sisi kiri dan kanan bangunanEmpat jendela berikutnya berada di sisi kiri dan kanan ruangan di bagian depan, dekat ke arah panggung. Dua jendela sisanya berada di bagian belakang atau searah pintu masuk yang menghadap ke arah mimbar. Sebelumnya, pada bagian kiri dan kanan mimbar yang menghadap ke arah jemaat juga terdapat empat buah jendela. Hanya saja, setelah tahun 1946 jendela ini ditutup mati dan dijadikan dinding.

Pada ruangan ini simbol hanya ditemukan pada mimbar. Di sisi kiri dan kanannya terdapat simbol alfa dan omegaSimbol alfa adalah huruf pertama dan simbol omega adalah huruf terakhir dalam alfabet YunaniSimbol ini biasa digunakan sebagai lambang kekekalan TuhanHal tersebut tertulis dalam Alkitab, Wahyu 22:13 "Aku adalah alfa dan omega, yang pertama dan yang terkemudian dan yang awal dan yang akhir" (Rambe, 2004:25).

Ruangan utama dengan ruangan di belakangnya dihubungkan oleh dua buah pintu pada sisi kiri dan kanan mimbar. Ruangan yang berada di belakang ruang utama ini memiliki ukuran panjang 6,1 meter dan lebar 5,1 meter. Pada salah satu sudut ruangan terdapat ruangan kecil yang menjadi ruang ganti bagi pendeta. Di ujung ruangan terdapat sebuah pintu kayu yang mirip dengan pintu depan. Hanya saja pintu ini memiliki ukuran yang lebih besar, yaitu tinggi 2,9 meter dan lebar 1,8 meter

Ruangan ini juga dilengkapi oleh empat buah jendela yang berada di sisi kiri dan kanan ruangan. Jendela ini memiliki ukuran tinggi 2 meter dan lebar 0,9 meter. Ukuran jendela ini sama dengan jendela yang ada pada ruang utama.

Pada bagian eksterior gereja, terdapat beberapa bagian yang memiliki keunikan dan karakter tersendiri. Beberapa bagian itu di antaranya adalah atap yang sudah mengalami beberapa kali pergantian. Selain itu terdapat menara tempat lonceng berikut hiasan kemuncak berupa ayam jantan. Selain itu, pada beberapa bagian terdapat ornamen berupa simbol dan tulisan.

Bangunan Belanda di Indonesia dapat diidentifikasi secara langsung hanya dengan melihat fisik bangunan. Pada dasarnya bangunan-bangunan tersebut mengadopsi pola bangunan Eropa, akan tetapi sebagian bangunan di Nusantara ada yang tidak mengadopsi bentuk itu secara utuhSebagian bangunan mengkombinasikan bentuk tersebut dengan bentuk-bentuk lokal sehingga terjadi vernekularisasi bangunan.

Sejumlah ciri dari bangunan Belanda di Indonesia di antaranya adalah keberadaan atap gabel atau gavel, atap ini biasanya langsung terlihat pada bagian atas bangunan. Selanjutnya terdapat tower atau menara. Keberadaan menara pada dasarnya tidak hanya menjadi penciri rumah ibadah semata, akan tetapi ada beberapa bangunan lain yang juga memliki menara. Pada bangunan Belanda juga terdapat windwijzer atau penunjuk angin, penunjuk angin ini biasanya berbentuk ornamen yang berada di atap. Selain pada bagian atap, ornamen atau ragam hias juga ada pada bagian badan atau dinding bangunan (Handinoto, 1996: 165-178).

Atap Gereja Bethel Tanjungpinang memiliki pola atap pelanaPola atap ini terdapat pada bagian serambi sekaligus menjadi fasade (tampilan depan) bangunan. Pola serupa juga terdapat pada bagian lain, seperti ruang utama atau ruang jemaat serta ruang ketiga yang berada di belakang ruang utama. Atap pada gereja ini terbilang memiliki kecuraman yang cukup tinggi, kecuraman ini mengikuti dinding atau gabel yang ada pada kedua sisi atap.

Gabel pada Gereja Bethel memiliki bentuk gabel step, atau bertingkat. Pada bangunan ini terdapat tiga buah gabel step, dua gabel berada di atas ruang utama dan satu lainnya berada pada ujung atap ruang belakang, sebab sisi lain atap sudah menyatu dengan gabel di atas ruang utama. Keberadaan atap gabel step pada gereja ini baru ada setelah tahun 1930, sebab foto gereja pada tahun itu menunjukkan bentuk gabel yang berbeda.

Gabel yang berada di atas ruang utama di bagian depan terdiri dari enam tingkat, bagian atasnya langsung menyatu ke menara. Sementara pada sisi lainnya terdiri dari tujuh tingkat. Gabel ketiga memiliki ukuran yang lebih kecil dari dua gabel sebelumnya, sebab harus menyesuaikan dimensi ruang yang ada di bawahnya (ruangan ketiga yang berada di belakang ruang utama), pada bagian ini terdapat empat tingkatan.

Pada gabel bagian depan terdapat ornamen berupa relief, relief pertama berupa tulisan GPIB - "BETHEL" TANJUNGPINANG. Sementara relif kedua yang berada di atas tulisan terdapat relif simbol salib. Keberadaan relief ini diperkirakan baru ada setelah tahun 1948. Sebab penyebutan GPIB (Gereja Protestan Indonesia Bagian Barat) baru ada pada tahun tersebut melalui surat penetapan bertanggal 1 Desember 1948 (Arsip Hak Pengakuan Gereja Protestan Bagian Barat, 1948).

Dalam perkembangannya, atap gabel tidak hanya digunakan pada rumah hunian maupun gereja yang dibangun pada masa pemerintahan Belanda. Bangunan China juga memiliki atap gabel, hal tersebut dapat ditemui pada hunian maupun kelenteng (Pratiwo, 2009: 94). Hanya saja, jika pada bangunan gereja atap gabel menghadap ke depan dan menjadi bagian dari fasade bangunan, maka pada bangunan China berada pada bagian samping. Tidak hanya itu, pola atap gabel juga ditemukan pada bangunan masjid. Masjid Rao Rao yang ada di Sumatera Barat memiliki tiga buah atap gabel yang menjadi bagian fasade bangunan. Ketiga gabel tersebut terdiri dari satu gabel mahkota dan dua dua gabel step (Rahmat, 2018: 1024).

Bagian lain yang cukup menonjol pada Gereja Bethel Tanjungpinang adalah menara. Menara pada gereja ini menyatu dengan bangunan utama dan berada tepat di tengah-tengah fasade bangunan. Secara fisik, badan menara berbentuk persegi dengan keberadaan ventilasi pada setiap sisinya, sementara bagian atap menara berbentuk limas persegi empat berbahan beton. Menara, atap gabel dan serambi untuk masuk ke dalam ruangan pada gereja ini merupakan satu kesatuan yang menjadi fasade bangunan. Keberadaan menara yang berukuran tinggi dan berada pada bagian depan bangunan menjadi landmark dari sebuah bangunan (Pinem, 2014: 366). Di dalamnya terdapat lonceng yang biasa digunakan sebagai pengingat atau penanda tentang kegiatan peribadatan. Pada umumnya gereja-gereja besar akan memiliki menara, hanya saja menara-menara tersebut akan memiliki ukuran dan tinggi yang berbeda. Selain itu posisi menara tidak serta merta harus berada di bagian tengah bangunan, sebab menara Gereja Bethel Bandung berada di sisi kiri bangunan

Pada puncak atap menara terdapat ornamen ayam jago sebagai hiasan kemuncak. Keberadaan ornamen ini kemudian menjadikan gereja ini kerap disebut sebagai gereja ayam oleh masyarakat. Selain di gereja, simbol ayam jantan juga dapat ditemukan pada sejumlah bangunan Eropa lainnya. Hiasan kemuncak yang berfungsi sebagai penunjuk arah angin (windwijzer). Pada bangunan- bangunan tersebut, windwijzer tidak hanya berbentuk ayam jago, akan tetapi ada yang berbentuk malaikat, kapal, kuda, panah serta simbol-simbol tertentu (Soekiman, 2014: 228).

Ayam jago atau ayam jantan pada bangunan gereja merupakan simbol paskah serta pengharapan eskatologis secara umum. Dalam Alkitab, Matius 26: 69-75, disebutkan bahwa Petrus diingatkan oleh suara ayam jantan bahwasanya dia sudah menyangkal Yesus, sebagaimana telah dinubuat-NyaOleh karenanya, simbol ayam jantan juga menjadi pengingat bagi umat untuk bertaubat dari penyangkalan tehadap Yesus dan kasih-Nya (Rambe, 2004: 27).

C. Eksistensi Protestan di Kepulauan Riau dari Masa ke Masa

Keberadaan Gereja Bethel dapat menjadi media untuk melihat bagaimana agama Protestan berkembang di TanjungpinangMerujuk pada sejarah pendirian gereja, diperkirakan keberadaan penganut Protestan sudah ada seiring dengan menetapnya bangsa Belanda di kota tersebut. Hanya saja, pembangunan gereja sebagai sarana peribadatan tentu dilakukan setelah ada jemaat dalam jumlah tertentu.

Perkembangan Protestan di Hindia Belanda memiliki kaitan erat dengan kedatangan Belanda ke daerah tersebut. Hal itu dapat dimulai dengan kedatangan Belanda dalam bentuk perusahaan dagang atau Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), hingga beralih ke masa penguasaan oleh Kerajaan Belanda (Intan, 2015: 328). Pada periode-periode ini, terdapat karakteristik dari penyebaran agama, karena hubungan antara agama dan kekuasaan pada masa ini memiliki keterkaitan.

Pada masa VOC, misi kekristenan di Indonesia menjadi bagian dari misi perusahaan yang awalnya untuk berdagang. Setelah 1623, dalam strutur VOC terdapat bagian khusus yang mengurus hal tersebut, yakni berada dalam Department of Trade and Colonies yang kemudian pindah ke Department of Education, Worship and Industry (Klinken, 2003: 9-10). Karena upaya kristenisasi dinilai memiliki hubungan dengan keuntungan dalam perdagangan, maka pada masa pendudukan VOC dikirim pendeta sebanyak 254 orang, berikut konselor Kristen sebanyak 800 orangTidak hanya itu, pihak VOC juga menanggung semua kebutuhan gereja, termasuk gaji pendeta dan konselor (Kruger, 1996: 31-32).

Di awal abad ke-19, dalam masa kekuasaan Pemerintah Belanda, misi kekristenan tetap memiliki hubungan dengan pemerintah. Hanya saja pada masa ini gereja tidak lagi dikungkung oleh pemerintah, sebagaimana yang terjadi pada masa VOC. Gereja-gereja pada masa ini lebih independen dalam melakukan misi kekristenan. Oleh karenanya pada masa tersebut mulai berdatangan berbagai lembaga missionari dari Eropa ke Hindia Belanda. Pada abad ke-19 itu setidaknya ada 15 lembaga missionari yang menjalankan misinya (Intan, 2015: 336).

Hubungan antara Gereja Bethel Tanjungpinang dengan bangsa Belanda cukup erat. Hal tersebut dapat dilihat dari sejumlah arsip yang berkaitan dengan gereja. Salah satunya pada surat yang dikeluarkan oleh Residen Riau terkait penghibahan tanah tempat berdirinya gereja kepada jemaat Protestan pada 30 Juli 1856. Di dalam surat itu juga disebutkan bahwa tanah yang sudah dihibahkan tidak akan dikenakan bea ataupun pajak oleh pemerintah. Di Tanjungpinang, kekalahan Raja Haji dalam peperangan adalah titik awal dari masuknya Belanda secara resmi. Setelah Raja Haji gugur dalam peperangan pada 18 Juni 1784, beberapa bulan setelahnya, yaitu pada 10 November Belanda membuat kesepakatan dengan Sultan Mahmud Riayat Syah. Salah satu poin dalam perjanjian itu adalah Belanda akan menempatkan orang- orangnya di kawasan itu, sementara untuk jumlah dan waktu kedatangan maupun penarikan tergantung pada pihak Belanda. Pada tahun-tahun setelahnya, Tanjungpinang mulai didatangi dan dihuni oleh orang- orang berkebangsaan Belanda (Dahlan, 2014: 232-240).

Merujuk pada waktu menetapnya bangsa Belanda secara resmi di Tanjungpinang pada akahir abad ke-18, maka dapat dikatakan penganut Protestan sudah ada di Tanjungpinang sejak saat itu. Hanya saja belum ditemukan sumber sejarah yang menceritakan tentang sarana peribadatan bagi mereka sejak menetap hingga tahun 1835. Selanjutnya pembangunan Gereja Bethel menjadi bukti bahwa pada awal abad ke-19 itu penganut Protestan sudah semakin banyak, sehingga membutuhkan bangunan peribadatan yang representatif.

Eksistensi gereja sejak pembangunan hingga masa sekarang memperlihatkan bahwa ajaran Protestan memiliki jemaat yang terus mengalami peningkatan dari masa ke masa. Penambahan balkon dilakukan karena ruang utama sudah tidak cukup untuk menampung jemaat. Perkembangan itu berlanjut hingga tahun 2018 dengan dibangunnya gereja baru lantaran gereja lama sudah tidak mampu menampung jemaat, terutama ketika Natal. Selain itu, berbagai renovasi yang dilakukan juga bertujuan untuk memberikan kenyamanan perayaan kepada para jemaat.